Pondok Pesantren Langitan itu berada di
bawah jembatan jalan raya Babat Lamongan jurusan Tuban, Jawa Timur.
Tepatnya di Desa Widang. Sepintas, dari jalan raya memang tidak tampak
pesantren, karena tertutup perkampungan. Tapi begitu masuk, terasalah
denyut kehidupan pesantren yang berada di atas areal sekitar 6 hektar
itu.
Meskipun termasuk pesantren salaf, kebersihan lingkungannya tampak
sangat terjaga. Apalagi, beberapa pohon mangga dan jambu dibiarkan
tumbuh subur, hingga memberi rasa teduh. Agak masuk ke dalam, ada sebuah
rumah kecil terbuat dari kayu berwarna janur kuning, sederet dengan
asrama santri dan rumah pengasuh lain. Di situlah KH Abdullah Faqih
(67), tokoh yang sangat disegani di kalangan NU, tinggal.
Di belakang rumah itu memang ada bangunan berlantai dua. Tapi, menurut keterangan salah seorang santrinya, gedung itu untuk tinggal putri-putrinya. “Kiai sendiri tetap tinggal di di rumah kayu itu,” kata santri yang tak mau disebut namanya.
Berukuran sekitar 7×3 meter, di dalamnya ada seperangkat meja kursi kuno dan dua almari berisi kitab-kitab. Lantainya dilambari karpet. Ada juga kaligrafi dan dua jam dinding. Itu saja. Dan di situ pula Kiai Faqih —panggilan akrabnya— menerima tamu-tamunya. Baik dari kalangan bawah, pengurus NU, maupun pejabat. Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU, juga termasuk tokoh yang rajin sowan ke Kiai Faqih.
Di kalangan NU dikenal istilah kiai khos atau kiai utama. Ada syarat tertentu sebelum seorang kiai masuk kategori khos. Antara lain, mereka harus mempunyai wawasan dan kemampuan ilmu agama yang luas, memiliki laku atau daya spiritual yang tinggi, mampu mengeluarkan kalimat hikmah atau anjuran moral yang dipatuhi, dan jauh dari keinginan-keinginan duniawi. Dengan kata lain, mereka sudah memiliki kemampuan waskita. Nah, Kiai Faqih termasuk dalam kategori kiai waskita itu. Tentu saja organisasi sebesar NU punya banyak kiai khos. Tapi, Kiai Faqihlah yang kerap jadi rujukan utama di kalangan Nahdliyin, terutama menyangkut kepentingan publik. Kiai Faqih lahir di Dusun Mandungan Desa Widang, Tuban. Saat kecil ia lebih banyak belajar kepada ayahandanya sendiri, KH Rofi’i Zahid, di Pesantren Langitan. Ketika besar ia nyantri pada Mbah Abdur Rochim di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Tapi tidak lama.
Sebagaimana para kiai tempo dulu, Faqih juga pernah tinggal di Makkah, Arab Saudi. Di sana ia belajar kepada Sayid Alwi bin Abbas Al-Maliki, ayahnya Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki. Rupanya selama di Arab Saudi Faqih punya hubungan khusus dengan Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki. Buktinya, setiap kali tokoh yang amat dihormati kalangan kiai di NU itu berkunjung ke Indonesia, selalu mampir ke Pesantren Langitan. “Sudah 5 kali Sayid Muhammad ke sini,” tambah salah seorang pengurus Langitan.
Pesantren Langitan memang termasuk pesantren tua di Jawa Timur. Didirikan l852 oleh KH Muhammad Nur, asal Desa Tuyuban, Rembang, Langitan dikenal sebagai pesantren ilmu alat. Para generasi pertama NU pernah belajar di pesantren yang terletak di tepi Bengawan Solo yang melintasi Desa Widang (dekat Babat Lamongan) ini. Antara lain KH Muhammad Cholil (Bangkalan), KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, KH Syamsul Arifin (ayahnya KH As’ad Syamsul Arifin), dan KH Shiddiq (ayahnya KH Ahmad Shiddiq).
Kiai Faqih (generasi kelima) memimpin Pesantren Langitan sejak l971, menggantikan KH Abdul Hadi Zahid yang meninggal dunia karena usia lanjut. Kiai Faqih didampingi KH Ahmad Marzuki Zahid, yang juga pamannya.
Di mata para santrinya, Kiai Faqih adalah tokoh yang sederhana, istiqomah dan alim. Ia tak hanya pandai mengajar, melainkan menjadi teladan seluruh santri. Dalam shalat lima waktu misalnya, ia selalu memimpin berjamaah. Demikian pula dalam hal kebersihan. “Tak jarang beliau mencincingkan sarungnya, membersihkan sendiri daun jambu di halaman,” tutur Choirie yang pernah menjadi santri Langitan selama 7 tahun.
Meski tetap mempertahankan ke-salaf-annya, pada era Kiai Faqih inilah Pesantren Langitan lebih terbuka. Misalnya, ia mendirikan Pusat Pelatihan Bahasa Arab, kursus komputer, mendirikan Taman Kanak-Kanak (TK) dan Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA). Dalam hal penggalian dana, ia membentuk Badan Usaha Milik Pondok berupa toko induk, kantin, dan wartel.
Lebih dari itu lagi, ayah 12 orang anak buah perkawinannya dengan Hj Hunainah ini juga mengarahkan pesantrennya agar lebih dekat dengan masyarakat. Di antaranya ia mengirim da’i ke daerah-daerah sulit di Jawa Timur dan luar Jawa. Setiap Jum’at ia juga menginstruksikan para santrinya shalat Jum’at di kampung-kampung. Lalu membuka pengajian umum di pesantren yang diikuti masyarakat luas.
Dalam hubungan dengan pemerintah Orde Baru, Kiai Faqih sangat hati-hati. Meski tetap menjaga hubungan baik, ia tidak mau terlalu dekat dengan penguasa, apalagi menengadahkan tangan minta bantuan, sekalipun untuk kepentingan pesantrennya. Bahkan, tak jarang, ia menolak bantuan pejabat atau siapapun, bila ia melihat di balik bantuan itu ada `maunya’. Mungkin, karena inilah perkembangan pembangunan fisik Langitan termasuk biasa-biasa saja. Moeslimin Nasoetion, saat menjabat Menteri Kehutanan dan Perkebunan dan berkunjung ke Langitan pernah berucap, “Saya heran melihat sosok Kiai Abdullah Faqih. Kenapa tidak mau membangun rumah dan pondoknya? Padahal, jika mau, tidak sedikit yang mau memberikan sumbangan.”
Tetapi bila terpaksa menerima, ini masih kata Effendy Choirie, bantuan itu akan dimanfaatkan fasilitas umum di mana masyarakat juga turut menikmatinya. Kiai Faqih, kata Choirie, juga tak pernah mengundang para pejabat bila pesantrennya atau dirinya punya hajat. “Tetapi kalau didatangi, beliau akan menerima dengan tangan terbuka,” tambah Choirie yang pernah menggeluti profesi wartawan ini.
Sumber: warnadunia.com
Di belakang rumah itu memang ada bangunan berlantai dua. Tapi, menurut keterangan salah seorang santrinya, gedung itu untuk tinggal putri-putrinya. “Kiai sendiri tetap tinggal di di rumah kayu itu,” kata santri yang tak mau disebut namanya.
Berukuran sekitar 7×3 meter, di dalamnya ada seperangkat meja kursi kuno dan dua almari berisi kitab-kitab. Lantainya dilambari karpet. Ada juga kaligrafi dan dua jam dinding. Itu saja. Dan di situ pula Kiai Faqih —panggilan akrabnya— menerima tamu-tamunya. Baik dari kalangan bawah, pengurus NU, maupun pejabat. Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU, juga termasuk tokoh yang rajin sowan ke Kiai Faqih.
Di kalangan NU dikenal istilah kiai khos atau kiai utama. Ada syarat tertentu sebelum seorang kiai masuk kategori khos. Antara lain, mereka harus mempunyai wawasan dan kemampuan ilmu agama yang luas, memiliki laku atau daya spiritual yang tinggi, mampu mengeluarkan kalimat hikmah atau anjuran moral yang dipatuhi, dan jauh dari keinginan-keinginan duniawi. Dengan kata lain, mereka sudah memiliki kemampuan waskita. Nah, Kiai Faqih termasuk dalam kategori kiai waskita itu. Tentu saja organisasi sebesar NU punya banyak kiai khos. Tapi, Kiai Faqihlah yang kerap jadi rujukan utama di kalangan Nahdliyin, terutama menyangkut kepentingan publik. Kiai Faqih lahir di Dusun Mandungan Desa Widang, Tuban. Saat kecil ia lebih banyak belajar kepada ayahandanya sendiri, KH Rofi’i Zahid, di Pesantren Langitan. Ketika besar ia nyantri pada Mbah Abdur Rochim di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Tapi tidak lama.
Sebagaimana para kiai tempo dulu, Faqih juga pernah tinggal di Makkah, Arab Saudi. Di sana ia belajar kepada Sayid Alwi bin Abbas Al-Maliki, ayahnya Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki. Rupanya selama di Arab Saudi Faqih punya hubungan khusus dengan Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki. Buktinya, setiap kali tokoh yang amat dihormati kalangan kiai di NU itu berkunjung ke Indonesia, selalu mampir ke Pesantren Langitan. “Sudah 5 kali Sayid Muhammad ke sini,” tambah salah seorang pengurus Langitan.
Pesantren Langitan memang termasuk pesantren tua di Jawa Timur. Didirikan l852 oleh KH Muhammad Nur, asal Desa Tuyuban, Rembang, Langitan dikenal sebagai pesantren ilmu alat. Para generasi pertama NU pernah belajar di pesantren yang terletak di tepi Bengawan Solo yang melintasi Desa Widang (dekat Babat Lamongan) ini. Antara lain KH Muhammad Cholil (Bangkalan), KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, KH Syamsul Arifin (ayahnya KH As’ad Syamsul Arifin), dan KH Shiddiq (ayahnya KH Ahmad Shiddiq).
Kiai Faqih (generasi kelima) memimpin Pesantren Langitan sejak l971, menggantikan KH Abdul Hadi Zahid yang meninggal dunia karena usia lanjut. Kiai Faqih didampingi KH Ahmad Marzuki Zahid, yang juga pamannya.
Di mata para santrinya, Kiai Faqih adalah tokoh yang sederhana, istiqomah dan alim. Ia tak hanya pandai mengajar, melainkan menjadi teladan seluruh santri. Dalam shalat lima waktu misalnya, ia selalu memimpin berjamaah. Demikian pula dalam hal kebersihan. “Tak jarang beliau mencincingkan sarungnya, membersihkan sendiri daun jambu di halaman,” tutur Choirie yang pernah menjadi santri Langitan selama 7 tahun.
Meski tetap mempertahankan ke-salaf-annya, pada era Kiai Faqih inilah Pesantren Langitan lebih terbuka. Misalnya, ia mendirikan Pusat Pelatihan Bahasa Arab, kursus komputer, mendirikan Taman Kanak-Kanak (TK) dan Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA). Dalam hal penggalian dana, ia membentuk Badan Usaha Milik Pondok berupa toko induk, kantin, dan wartel.
Lebih dari itu lagi, ayah 12 orang anak buah perkawinannya dengan Hj Hunainah ini juga mengarahkan pesantrennya agar lebih dekat dengan masyarakat. Di antaranya ia mengirim da’i ke daerah-daerah sulit di Jawa Timur dan luar Jawa. Setiap Jum’at ia juga menginstruksikan para santrinya shalat Jum’at di kampung-kampung. Lalu membuka pengajian umum di pesantren yang diikuti masyarakat luas.
Dalam hubungan dengan pemerintah Orde Baru, Kiai Faqih sangat hati-hati. Meski tetap menjaga hubungan baik, ia tidak mau terlalu dekat dengan penguasa, apalagi menengadahkan tangan minta bantuan, sekalipun untuk kepentingan pesantrennya. Bahkan, tak jarang, ia menolak bantuan pejabat atau siapapun, bila ia melihat di balik bantuan itu ada `maunya’. Mungkin, karena inilah perkembangan pembangunan fisik Langitan termasuk biasa-biasa saja. Moeslimin Nasoetion, saat menjabat Menteri Kehutanan dan Perkebunan dan berkunjung ke Langitan pernah berucap, “Saya heran melihat sosok Kiai Abdullah Faqih. Kenapa tidak mau membangun rumah dan pondoknya? Padahal, jika mau, tidak sedikit yang mau memberikan sumbangan.”
Tetapi bila terpaksa menerima, ini masih kata Effendy Choirie, bantuan itu akan dimanfaatkan fasilitas umum di mana masyarakat juga turut menikmatinya. Kiai Faqih, kata Choirie, juga tak pernah mengundang para pejabat bila pesantrennya atau dirinya punya hajat. “Tetapi kalau didatangi, beliau akan menerima dengan tangan terbuka,” tambah Choirie yang pernah menggeluti profesi wartawan ini.
Sumber: warnadunia.com
Komentar
Posting Komentar