Langsung ke konten utama

KH. MASDAR FARID MAS'UDI

KH. Masdar Farid Mas'udi PDF Cetak
Selasa, 17 Februari 2009


Miliki "Trah" Kyai

Image Masdar lahir dari ibunda Hj. Hasanah, di dusun Jombor, Cipete, Cilongok, Purwokerto, tahun 1954. Ayahandanya, Mas’udi bin Abdurrahman, adalah seorang kyai masyarakat melalui kegiatan ta’lim dari kampung ke kampung. Sampai dengan kakeknya, Kyai Abdurrahman, Jombor dikenal dengan pesantren salafnya yang telah dirintis oleh moyangnya, Mbah Abdussomad yang makamnya sampai sekarang masih selalu diziarahi oleh masyarakat Islam Banyumas.
Tamat sekolah Dasar yang diselesaikannya selama 5 tahun, Masdar langsung dikirim ayahnya ke Pesantren salaf di Tegalrejo, Magelang, di bawah asuhan Mbah Kyai Khudlori. Tiga tahun di Tegalrejo, Masdar telah menamatkan dan menghafalkan Alfiyah Ibnu Aqil. Selanjutnya pindah ke Pesantren Krapyak, Yogyakarta berguru kepada Mbah Kyai Ali Maksoem, Rois Am PBNU tahun 1988 - 1999. Meskipun dari Tegalrejo baru menyelesaikan pendidikan setara dengan klas 3 Tsanawiyah, di Krapyak Masdar langsung diterima di kelas 3 Aliyah. 

Tahun 1970, selesai Aliyah, Masdar dinasehati oleh Mbah Ali untuk tidak langsung ke IAIN, melainkan untuk ngajar dan menjadi asisten pribadi Kyai terutama dalam tugas-tugas beliau sebagai dosen luar biasa IAIN Sunan Kalijaga. “Saya sering ditugasi oleh beliau untuk membacakan skripsi calon-calon sarjana IAIN dan membuat pertanyaan-pertanyaan yang relevan untuk diujikan”, katanya. Dalam kapasitasnya sebagai aspri inilah Masdar memperoleh kesempatan langka untuk memanfaatkan perpustakaan pribadi Mbah Ali yang berisi kitab-kitab pilihan baik yang salaf (klasik) maupun yang kholaf (modern). 

Tahun 1972, sambil tetap tinggal dan mengajar di Pesantren Krapyak, Masdar melanjutkan studi di Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, jurusan Tafsir-Hadits. Di masjid Jami’ IAIN, Masdar sempat menggelar tradisi baru pengajian kitab kuning dengan mem-balah (mengajar) Alfiyah untuk  kalangan mahasiswa.

Berbagai seminar ilmiyah telah diikutinya sebagai pembicara mewakili sudut pandang Islam, baik dalam maupun luar negeri. Antara lain, di Manila dan Mindanau (Philipina) di Kuala Lumpur (Malaysia), di Singapura, di Kairo (Mesir), Sidney (Australia), Belanda dan Denmark. Pernah mengadakan kunjungan di pusat-psat keagamaan di Amerika selama 5 pekan, tahun 1986.

Berbagai karya ilmiyah berupa makalah, artikel dan juga buku telah berhasil diterbitkan. Yang utama, berupa buku utuh, bukan kumpulan karangan adalah: 1) AGAMA KEADILAN; Risalah Zakat / Pajak dalam Islam; 2) Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan. Yang terakhir ini, pada tahun 2002, bahkan telah diterbitkan dalam versi Inggris berjudul  “Islam & Women’s Reproductive Rights” oleh Penerbit Sisters in Islam, Kuala Lumpur, Malysia.

Kiprah Pemikiran
Yang paling menonjol dari Masdar F Mas’udi adalah kiprahnya di bidang pemikiran keagaman yang sering kali dianggap mengagetkan. Secara garis besar pemikiran Masdar ini dapat diidentifikasi dalam sebuah kerangka paradigmatik yang disebutnya Islam al-Islam at-Taharruriy. Dari sudut visi dan akar keprihatinannya, Islam Taharruri ini memiliki karakter yang berbeda dengan kedua gerakan yang kini banyak dibicarakan orang, yakni Islam Liberal (Islib) maupun antitesanya Islam Fundamentalis (Isfund). Bahkan Islam Taharruri ini bisa dikatakan kritik terhadap kedua wacana atau gerakan Islam tersebut.

Sebagaimana diketahui Islib maupun Isfund mengambil fokus utamanya pada issu polarisasi Islam dan Barat. Islib seolah menyuarakan aspirasi dan nilai-nilai Barat ke dalam Islam dengan menempatkan akal di atas segalanya, sementara Isfund justru hendak meneguhkan identitas Islam untuk melawan Barat dengan kecenderungan mencurigai akal dalam segalanya. Maka pertengkaran antara keduanya pun banyak terjebak  pada issu-issu simbolik yang mewakili benturan antara dua sudut pandang tersebut. Misalnya seperti jilbab, kawin campur, aurat, jenggot, gamis, dan issu-issu syariat lain yang mencerminkan perebutan identitas (syi’ar) Islam vs Barat.

Islam Taharruri, di lain pihak, ingin mengundang perhatian pada persoalan-persoalan riil keumatan - kerakyatan yang secara akut menghimpit lapisan besar masyarakat yang terpinggirkan, baik secara ekonomi, politik maupun budaya. Maka agenda yang diusung  pun berbeda, yakni: pemberdayaan ekonomi rakyat, pendidikan yang merata dan murah,  jaminan kesehatan dan kesejahteraan bagi rakyat banyak, pemberantasan korupsi serta penegakan hukum dan pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean government) yang memihak rakyat. Kata kuncinya adalah kemashlahatan orang banyak (mashalih arraiyah). 

Bagi Masdar, Islam datang ke bumi bukanlah untuk kepentingan Allah (yang maha Kaya) maupun ajaran Islam itu sendiri (yang sudah sempurna). Islam adalah rahmat Allah bagi umat manusia untuk kemuliaan martabat manusia sendiri secara lahir-batin, jasmani-ruhani, personal-sosial. Oleh sebab itu, keberislaman, harus dibangun melalui empat tahap pembebasan: pertama  adalah kepedulian yang mendalam terhadap problem kemanusiaan; kedua, mendefinisikan akar problem kemanusian itu secara kritis; ketiga, merumuskan kerangka perubahan (transformasi); dan keempat, langkah-langkah praksis amaliyah pembebasan itu sendiri. Dalam keseluruhan empat langkah keberislaman itu, Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, merupakan sumber inspirasi, motivasi dan petunjuk (guidence/ al-huda) yang tidak pernah kering. “Tanpa kerangka keberislaman seperti itu, rasanya sulit Islam bisa menjadi motor perubahan yang mempu membawa umat manusia keluar dari tata kehidupan yang semakin disesaki dengan kezaliman sekarang ini”, katanya.

Sejumlah gagasan orisinal (nyleneh?) telah muncul dari pikiran Masdar yang secara paradigmatik memang bertolak dari kepedulian mendalam terhadap problem-problem kemanusiaan dimaksud. Yang paling diseriusi adalah penafsirannya kembali atas ajaran  ZAKAT yang tertuang dalam bukunya (1991) setebal 250-an halaman. Bertolak dari problem ketidakadilan menyeluruh yang diawali dari ketidakadilan ekonomi, Masdar berpendapat bahwa lebih dari sekedar ajaran sedekah karitatif yang tidak berdampak, zakat pada dasarnya adalah konsep etika sosial dan politik kenegaraan untuk keadilan. Pada tataran praktis, zakat adalah konsep perpajakan (akhdzu) dan pembelanjaan (tasharruf) yang ada pada kewenangan negara/pemerintah untuk redistribusi pendapatan agar supaya kesejahteraan tidak hanya berputar-putar di tangan orang-orang kaya saja. Kaila yakuuna dulatan bainal aghniya-a minkum (al-Hasyr: 9). Ashanaf delapan, menurut Masdar, adalah acuan etik penyusunan anggaran belanja negara, di pusat maupun daerah,  dengan pemihakan yang begitu jelas dan terukur kepada kepentingan masyaralat luas, terutama yang lemah.

Menyusul kemudian, konsepnya yang tidak kalah kontroversial tentang “peninjauan kembali waktu pelaksaaan ibadah haji”. Titik tolaknya adalah keprihatinan yang mendalam atas terjadinya tragedi kemanusiaan Muaishim tahun 1992 dengan korban lebih dari 2000 jemaah yang mati mengenaskan karena terinjak-injak. Musibah itu dari tahun ke tahun sampai sekarang masih saja terjadi, akibat terbatasnya ruang (space) pelaksanaan ibadah haji yang semakin tidak seimbang dengan jumlah jemaah yang terus meningkat sampai 2 juta lebih. Untuk ini, Masdar menawarkan wacana, bagaimana kalau umat Islam kembali kepada ketentuan waktu pelaksanaan ibadah haji yang secara jelas (sharih) disediakan al-Qur’an, Al-hajju asyhurun ma’luumat/bahwa waktu pelaksanaan ibadah haji adalah beberapa bulan yang sudah maklum (Al-Baqarah: 192). Yakni: Syawal, Dzul Qa’dah dan Dzul Hijjah. “Dengan kembali kepada ayat ini, maka 10 juta jemaah haji/tahun pun tidak perlu ada kesulitan”, katanya sambil meyakinkan bahwa dengan pertumbuhan jumlah umat Islam dan kesejahteraannya di seluruh dunia jemaah haji pasti akan terus berlipat ganda jumlahnya di tahun-tahun mendatang.

Dalam hal ini Masdar menolak anggapan telah mengabaikan hadits Nabi yang mengatakan, Al-hajju arafah (Puncak haji itu wuquf di Arafah) maupun hadits Khudzu ‘anni manasikakum (Ikuti aku tatacara hajimu). Menurutnya, hadits itu harus diamalkan tapi tidak boleh  menganulir (ilgha) ayat Al-Baqarah: 192 yang begitu sharih dan jelas lebih tinggi kedudukannya. Caranya, ayat dan hadits-hadits tadi harus diacu sesuai dengan kapasitas masing-masing: Ayat “al-hajju asyhurun ma’lumat” diacu untuk patokan waktu, dalam arti hari-harinya;  Hadits “al-hajju ‘arafah” diacu untuk tempat, bukan hari wuquf, dan hadits “khudzu anni manasikakum” diacu untuk tatacara, urut-urutan manasik dan waktu jam-jamnya.

Gagasan-gagasan nyleneh (orisinal ?) ini bagi Masdar sendiri ibarat pisau bermata dua: Di satu pihak membuat kalangan kyai sepuh NU waswas karena pikiran-pikiran itu terasa terlalu maju. Di lain pihak, membuat orang-orang diluar NU justru harus meninjau kembali tuduhan stereotipe mereka bahwa NU hanyalah himpunan orang-orang jumud dan beku. Gagasan-gagasan seperti dilontarkan Masdar dan seniornya seperti Gus Dur dan Gus Mus, bahkan Kyai Sahal, justru membuktikan sebaliknya. Kebekuan yang mendera dunia pemikiran Islam selama ini tampaknya justru akan dicairkan oleh NU sendiri. Untuk ini Masdar berpegang pada garis  Rasulullah saw, bahwa berbagai pamahaman boleh dikembangkan untuk memenuhi kemaslahatan manusia, asal jangan sampai menghalalkan yang haram, atau mengharamkan yang dihalakan: Al muslimuuna ala syuruthihim, illa syarthan ahalla haraman aw harrama halalan” (al-Hadits).

Tentang gagasan-gagasannya yang nyleneh itu, Masdar berujar, bahwa pada akhirnya terserah para ulama, khususnya di lembaga Syuriah NU dan umat sendiri untuk menilai. “Sebagai warga NU saya sepenuhnya pasrah kepada para ulama, sami’na wa atha’na. Jika dianggap lebih bermaslahat dan tidak bertentangan dengan nash, alhamdulillah. Tapi jika dibuktikan sebaliknya, dengan ikhlas dan bersyukur kepada Allah, saya juga siap melepaskan  pendapat saya, dan menyatakan taubat”, ujarnya sungguh-sungguh. Sejauh ini memang belum ada keputusan resmi ulama-ulama dalam Syuriah NU atas pendapat Masdar tersebut. “Dengan hati terbuka, saya siap menerima fatwa Syuriah”, ujarnya. 

Ke-NU-an dan Ke-Indonesia-an:
Masdar berpendapat, bahwa “Almuslimuun al-Indonesiyyun kulluhum nahdliyyun, illa man aba/ Semua orang Islam Indoensia adalah NU, kecuali yang menolak”. Dalam pada itu, dalam pikiran Masdar, NU adalah inti Indonesia. Bukan saja kerana NU merupakan wadah untuk bagian terbesar umat Islam Indonesia. Akan tetapi dalam NU juga ada ke-Indonesia-an yang menyatu dengan jiwa ke-Islam-an. Singkatnya, NU adalah Islam Indonesia.

Ibarat kereta, katanya, Indonesia adalah kereta dengan 10 gerbong penumpangnya. Sembilan gerbong diantaranya gerbong umat Islam, dan 6 bahkan 7 diantaranya adalah gerbong NU. Tesis ini memastikan, bahwa tidak ada Indonesia yang maju, tanpa umat Islam ikut maju; dan tidak ada umat Islam maju, kalau NU ditinggalkan di belakang. Kenapa setelah lebih 30 tahun Orde Baru membangun Indonesia tetap tertinggal dari negara-negara tetangga? Jawab Masdar tegas, “Karena Orde Baru sengaja meminggirkan NU dan menempatkan NU tertingal di belakang!” 

Sementara itu, bagaimana pun Indonesia yang berpenduduk muslim terbesar di dunia ini, harus menjadi negara maju, bermartabat dan terhormat dimata dunia. Keharusan itu, menurut Masdar, hanya bisa dicapai kalau Indonesia berhasil membangun dirinya sebagai negara kebanggan dunia Islam di abad 21 modern ini. Inilah tantangan sejarah dan peradaban yang sungguh berat dan mulia bagi seluruh bangsa Indonesia, umat Islam, dan kaum Nahdliyin  khususnya.

Di dunia ini, kata Masdar, masing-masing umat agama dunia sudah memiliki negara kebanggan. Barat Eropa dan Amerika adalah kebanggaan umat Injil; Israel dengan segala cara ingin menjadi negara model bagi umat Taurat; Jepang dan Thailand, boleh diaku sebagai negara kebanggan umat Budha; dan China tengah tumbuh menjadi kebanggan umat Konghucu. India kebanggaan umat Hindu. Tapi, mana negara kebanggaan umat Islam?

Ka’bah dan ibadah haji biar tetap di Makah dan makam Nabi tetap di Madinah. Akan tetapi Indonesia adalah yang paling layak menjadi negara model dan kebanggan dunia Islam di abad modern ini karena beberapa alasan yang tidak dimiliki oleh negara-negara Islam lainnya: Pertama, sumberdaya alamnya yang luar biasa kaya; Kedua, letak strategis wilayahnya yang mempertemukan dan sekaligus menjadi gerbang masuk keluar lalu lintas berbagai benua. Ketiga, kematangan demokrasi dan pluralismenya; Keempat umat Islamnya terbesar di dunia; Kelima, Islam Indonesia adalah Islam yang memiliki kesetiaan tinggi pada tradisi sekaligus mampu melakukan penyesuaian dinamis dan kritis dengan modernitas. NU adalah inilah inti Islam Indonesia!

Mewujudkaan Indonesia sebagai negara kebanggan dunia Islam inilah letak tanggungjawab besar umat Islam Indonesia dan NU terutama. Tanggungjawab ini hanya bisa diwujudkan, bukan terutama dengan aktif memperebutkan kekusaan dengan menjaul murah umatnya, khususnya pada musim-musim politik. Tapi dengan memajukan tingkat keterdidikan, kecerdasan dan kesejahteraan umat dan bangsanya.

Untuk itu, bagi Masdar, NU harus kembali dan istiqomah pada cita-cita awal dan sekaligus jatidirinya, yakni sebagai wadah keulamaan untuk memuliakan Islam dan umat manusia. Dan inti keulamaan sebagai essensi ke-NU-an, katanya, adalah wawasan keilmuan dan moralitas dalam amal perhidmatan nyata yang berkualitas untuk umat dan bangsanya. Inilah amanat suci para pendiri NU (Mbah Hasyim, Mbah Wahab dan Mbah Bisri, dll) yang tidak akan pernah mendapatkan prioritas semestinya, selagi para pemimpin NU terdiri dari para politisi yang hanya peduli untuk menyapa warganya hanya untuk mobilisasi dukungan politik belaka.

Pengalaman Organisasi
Pengalaman organisasi Masdar F Masudi diawali ketika tahun 1972 dipilih sebagai ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Krapyak, Yogyakarta, sampai dengan 1974. Selanjutnya pada tahun 1976 terpilih sebagai Sekjen Dewan Mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sampai dengan 1978. Sebagai aktivis mahasiswa, Masdar pernah ditahan oleh Penguasa Orde Baru bersama 9 tokoh aktivis mahasiswa lainnya di markas Pomdam Jawa Tengah, Semarang selama 5 bulan lebih. Penahanan  tanpa peradilan itu dilakukan karena ‘dosa’ memimpin demo anti korupsi menjelang Sidang Umum MPR 1978. Tahun 1982, setalah hijrah di Jakarta, Masdar dipilih sebagai Ketua I Pengurus Besar PMII periode 1982 – 1987 mendampingi Muhyidin Arubusman sebagai Ketua Umum.

Selesai kuliah, tahun 1980 Masdar hijrah ke Jakarta dan bekerja untuk Lembaga Missi Islam NU sambil menjadi wartawan di beberapa mass media ibu kota. Tahun 1985, sehabis muktamar Situbondo, bersama dengan K. Irfan Zidni, Masdar ditunjuk sebagai asisten Ketua Umum (Gus Dur) dan Rois Am dibidang Pengembangan Pemikiran Keagamaan.

Sebagai kordinator program P3M ( Prhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat), Masdar sempat menerbitkan Jurnal PESANTREN, yang pertama dan satu-satunya  jurnal ilmiah Islam yang terbit antara tahun 1984 – 1990. Di lain pihak, didukung oleh Rabitah Ma’ahid Islami (RMI) dibawah duet kepemimpinan (alm) KH. Imran Hamzah dan (alm) KH. Wahid Zaini, Masdar merintis berbagai kegiatan kajian khazanah keislaman Salaf melalui berbagai halaqah. Dimulai dari halqah Watucongol tahun 1989 dengan tema “Memahami Kitab Kuning secara Kontekstual”, kegiatan itu terus bergulir di berbagai daerah dengan keikut sertaan para kyai baik yang sepuh maupun yang muda-muda. Salah satau diantara out putnya yang monumental adalah rumusan Metode Pengambilan Hukum yang menjadi keputusan Munas NU Lampung 1992.

Sejak 8 tahun terakhir Masdar F Mas’udi, yang sempat kuliah Program Filsafat di S-2  ini, juga membina pesantren di daerah Sukabumi, persisnya pesantren Al-Bayan, di kampung Cikiwul, Pancoran Mas, Cibadak, Sukabumi. Dengan program pendidikan formal utamanya SMA, sudah tiga angkatan diluluskan dengan prestasi akademikin yang unggul sesuai dengan namanya. Yakni rata-rata 95 persen lulusannya diterima di Perguruan Tinggi Negeri terbaik. Mulai tahun 2004 merintis cabang di Depok, Bogor, dengan program yang sama.

Kini selain sebagai Katib Syuriah PBNU, Masdar F Mas’udi aktif di : P3M sebagai direktur ; di Komisi Ombudsman Nasional; dan di Dewan Etik ICW (Indonesian Corruption Wacth). (posted from Ahmad Kosasi Marzuki)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KH. ASRORI AL ISHAQI

BIOGRAFI - KH. AHMAD ASRORI AL-ISHAQI 12:43:00 PM    2 comments KH. Ahmad Asrori Al-ishaqi merupakan putera dari Kyai Utsman Al-Ishaqi. Beliau mengasuh Pondok Pesantren Al-Fithrah Kedinding Surabaya. Kelurahan Kedinding Lor terletak di Kecamatan Kenjeran Kota Surabaya. Di atas tanah kurang lebih 3 hektar berdiri Pondok Pesantren Al-Fithrah yang diasuh Kiai Ahmad Asrori, putra Kiai Utsman Al-Ishaqy. Nama Al-Ishaqy dinisbatkan kepada Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri, karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri. Semasa hidup, Kiai Utsman adalah mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dalam dunia Islam, tarekat Naqsyabandiyah dikenal sebagai tarekat yang penting dan memiliki penyebaran paling luas; cabang-cabangnya bisa ditemukan di banyak negeri antara Yugoslavia dan Mesir di belahan barat serta Indonesia dan Cina di belahan timur. Sepeninggal Kiai Utsman tahun 1984, atas penunjukan langsung Kiai Utsman, Kiai Ahmad Asrori meneruskan kedudukan mursyid ayahnya. Ketokohan Kiai Asror

Berpuasa Ala Jawa, puasa mutih, pati geni, Puasa Ngrowot

Bagi  orang jawa tentunya kita juga harus tau berbagai macam budaya-budaya yang ada di jawa, atau kebiasaan-kebiasaan orang jawa, seperti halnya puasa, sebelum adanya Islam di tanah jawa tradisi memperkuat diri dengan berpuasa sudah ada.. mari kita teliti lebih dalam.. Sejatinya puasa adalah hal yang penting untuk meningkatan spiritual seseorang. Di semua ajaran agama, biasanya disebutkan tentang puasa ini dengan berbagai versi yang berbeda. Menurut sudut pandang spiritual metafisik, puasa mempunyai efek yang sangat baik dan besar terhadap tubuh dan fikiran. Oleh masyarakat Jawa, bulan puasa juga diyakini sebagai bulan penuh berkah dan memiliki keistimewaan tersendiri. Filosofi Jawa menyatakan, puasa sebagai sarana menggembleng jiwa, raga, mempertajam rasa batin, olahrasa-pangrasa, serta menyucikan hati dan pikiran. Para penghayat kejawen telah menemukan metode-metode untuk membangkitkan spirit agar menjadi manusia yang kuat jiwan

SEJARAH MANBAUL ULUM

SEJARAH PESANTREN MANBAUL ULUM Madrasah Manbaul Ulum Sinoman Pati merupakan lembaga pendidikan yang bercirikas Islam, yang berada di bawah naungan Yayasan Khoiruman dengan akte Notaris Ahmad Firedenan SH, No. 2 Tahun 2007 yang terletak di desa Sinoman Pati. Madrasah ini berdiri di atas tanah seluas 870 m2 yang merupakan tanah wakaf dari KH Malik Abdul Aziz. Lokasi Madrasah ini sangat strategis karena berada di perbatasan antara Kecamatan Pati, Juwana, dan Wedarijaksa. Lokasi tersebut berdekatan dengan masjid Desa Sinoman sehingga siswa dapat melaksanakan kegiatan ekstrakurikuler dengan maksimal. Mengenai letak berdirinya Madrasah Tsanawiyah Manbaul Ulum Sinoman Pati, sebagai berikut : Sebelah Utara, berbatasan dengan Desa Tawangharjo Wedarijaksa. Sebelah Selatan, berbatasan dengan Desa Gadingrejo Juwana. Sebelah Barat, berbatasan dengan Desa Margorejo Wedarijaksa. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Margomulyo Juwana. 2. Tinjauan Historis Dilihat dari nama Manbaul Ulum, merupaka